Saturday, October 31, 2009
Perkembangan komoditas Agroindustri di Indonesia
Mengawali kerja beratnya, Pemerintah telah menetapkan sasaran- sasaran ekonomi yang diungkapkan dalam indikator-indikator laju pertumbuhan berikut: Mendorong laju pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003 menjadi 7,6% pada tahun 2009, sehingga dalam lima tahun mendatang dapat mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini, secara teoritik, diperlukan untuk menurunkan angka pengangguran dan ingkat kemiskinan. Pengangguran akan dikurangi dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6.7 % pada tahun 2009. Sedangkan tingkat kemiskinan ditekan dari 16,6 % pada tahun 2004 menjadi 8,2 % pada tahun 2009. Sasaran laju pertumbuhan di atas hanya akan tercapai
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan Agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumber daya, Agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indone- sia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete (Saragih, 2002). Selanjutnya, pengembangan Agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek. Dengan demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi variabel penting. Hal ini karena Agroindustri, yang memproduksi kebutu- han konsumsi masyarakat memiliki “mul- tiplier effects” tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003). Dari sisi Perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap, sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam Agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan Agroindustri ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan Agroindustri, misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen. Sementara itu, Perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata- rata utilitas pada tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004.
Dengan demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat memanfaatkan kapasitas terpasang. Dalam kegiatan ekspor-impor, Agroindustri juga menunjukkan Perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase, maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937 metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun 2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD 1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850 milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan Agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi Perkembangan Komoditas strategis, jenis dan sebaran Komoditas di masing-masing wilayah, dan produktivitas masing-masing unit produksi.
Masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan Agroindustri adalah potensi Agroindustri yang sangat besar belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara berdaya-guna dan berhasil-guna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis di atas. Permasalahan tersebut muncul karena danya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pengembangan Agroindustri di Indonesia.
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan Agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumber daya, Agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indone- sia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete (Saragih, 2002). Selanjutnya, pengembangan Agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek. Dengan demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi variabel penting. Hal ini karena Agroindustri, yang memproduksi kebutu- han konsumsi masyarakat memiliki “mul- tiplier effects” tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003). Dari sisi Perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap, sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam Agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan Agroindustri ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan Agroindustri, misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen. Sementara itu, Perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata- rata utilitas pada tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004.
Dengan demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat memanfaatkan kapasitas terpasang. Dalam kegiatan ekspor-impor, Agroindustri juga menunjukkan Perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase, maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937 metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun 2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD 1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850 milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan Agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi Perkembangan Komoditas strategis, jenis dan sebaran Komoditas di masing-masing wilayah, dan produktivitas masing-masing unit produksi.
Masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan Agroindustri adalah potensi Agroindustri yang sangat besar belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara berdaya-guna dan berhasil-guna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis di atas. Permasalahan tersebut muncul karena danya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pengembangan Agroindustri di Indonesia.
Tag →
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
@dhany. Powered by Blogger.
4 Responses to “Perkembangan komoditas Agroindustri di Indonesia”
Post a Comment